Sejak muncul gagasan membentuk klub Arema Malang di era 80-an, Nirwan Bakrie adalah sosok yang sangat akrab di telinga Aremania. Tercatat dalam sejarah klub, Nirwan adalah sosok yang membantu mimpi mendiang Acub Zaenal dan putranya Lucky Adrianda Zaenal mendirikan tim sepakbola.
Tanpa campur tangan pengusaha itu, mungkin Arema yang sekarang berubah nama menjadi Arema Cronus tak akan pernah ada. Seiring perjalanan waktu, Nirwan Bakrie hanyalah sosok yang tercatat dalam buku sejarah Arema saja, tanpa pernah muncul langsung di Malang.
Selama eksistensi Arema pula, pula sosok Nirwan Dermawan Bakrie masih misterius. Namun, sosok yang kini memegang 100 persen saham Singo Edan tersebut akhirnya menampakkan dirinya di Malang. Penampakan yang kemudian memunculkan beragam spekulasi alias isu.
Nirwan datang membawa oleh-oleh manis bagi Aremania, yakni rencana pembangunan stadion serta mimpi menjadikan Arema tim yang lebih bergengsi. Rencana yang membuat Aremania mabuk kepayang, apalagi diucapkan langsung dari bibir seorang Nirwan Bakrie.
Terlepas dari hubungan big boss dengan klub sepak bola miliknya, segudang pertanyaan juga muncul dari kehadiran Nirwan di Malang. Seorang rekan Aremania merasa kurang nyaman karena kedatangan tersebut dirasakannya bernuansa politis, terutama dikaitkan dengan sejumlah fakta.
Kebetulan kedatangan Nirwan bertepatan dengan kampanye sebuah partai politik di Malang. Bukan rahasia lagi, Aburizal Bakrie yang notabene kakak kandung Nirwan, menjadi calon presiden dari partai tersebut. Rekan saya tadi kemudian bertanya, "Setelah sekian tahun, kenapa munculnya sekarang...?"
Pertanyaan itu semakin besar karena seorang big boss mengunjungi klubnya bukan saat pertandingan besar. Nirwan datang langsung ke stadion dan 'hanya' disuguhi pertandingan ujicoba berformat trofeo yang melibatkan Arema Cronus, Persikoba Batu serta Persekam Metro FC.
Mungkin karena Nirwan baru mempunyai waktu luang di tengah kesibukannya sebagai pengusaha. Mungkin, menurut saya semua berhak memberi penilaian terkait keberadaan Nirwan serta kampanye partai politik berwarna kuning, selaras dengan warna kostum Arema di ujicoba trofeo tersebut.
Kalau pun kemudian ada agenda tertentu yang publik tidak tahu, menurut saya juga wajar-wajar saja. Keterlibatan seorang politisi di klub sepakbola bukan sesuatu yang terlarang. Silvio Berlusconi, pemilik AC Milan juga seorang politikus dan juga menjadi perdana menteri Italia.
Aremania terlihat susah payah menampik cibiran bahwa mereka bukan alat politik dan tidak akan pernah terlibat dalam urusan politik. Tak sedikit supporter rival yang menyindir keterlibatan partai di tim dengan kostum kebanggaan biru. Kenapa situasi ini dijadikan bahan cemoohan ?
Dalam pandangan saya, kondisi sepak bola Indonesia yang menjadikan situasi ini dianggap miring. Publik mayoritas memandang urusan politik sangat berpengaruh pada prestasi atau eksistensi sebuah klub di kompetisi. Ini pola pikir klasik dan menurut saya sangat "bodoh". Bakrie yang pernah berpengaruh di PSSI, dianggap bakal memberi keuntungan bagi Arema, begitu sederhananya.
Politik juga dianggap sebagai momok yang mengacaukan sepak bola nasional. Sepak terjang politikus di organisasi sepakbola, berbagai manuver politis yang sering tak masuk akal, sikut-sikutan demi kepentingan golongan, hingga permusuhan pribadi, adalah warna-warni sepak bola Indonesia. Dari situ akhirnya publik bola alergi dengan yang namanya politik di olah raga paling digemari masyarakat Indonesia.
Saya menyadari posisi Aremania sangat sulit. Mau tak mau mereka menghadapi cemoohan bahwa tim Singo Edan identik dengan salah satu partai politik. Padahal Nirwan Bakrie sangat berbeda dengan Aburizal Bakrie. Secara praktis, Nirwan tidak pernah larut langsung dalam politik seperti yang dilakukan Ical. Tapi rupanya rival tidak mau tahu dengan itu. Bagi mereka Bakrie ya tetap Bakrie, apa pun nama depannya.
Dari ulasan di atas, saya menyimpulkan aroma politis di Singo Edan sepenuhnya tergantung Aremania sendiri. Mereka sendiri yang menentukan terlibat atau tidaknya di politik praktis. Sejauh Arema tetap berjalan di rel profesionalisme sepak bola nasional, tidak ada yang perlu dicemaskan.
Apa pun situasinya saat ini, harus diakui Arema Cronus justru sangat beruntung memiliki big boss Nirwan Bakrie. Sedikit sekali sosok yang memiliki komitmen di dunia sepak bola seperti dia hingga membeli klub seperti Brisbane Roar (Australia) dan CS Visse (Belgia). Semua tentu tak bisa membayangkan bagaimana nasib Arema jika awal musim lalu tidak diakuisisi Bakrie. Mungkin tim yang berdiri pada 11 Agustus 1987 tersebut masih mengalami defisit finansial dan tidak menjadi tim yang kompetitif seperti sekarang.
Komunitas selalu menjadi komoditi dalam politik. Aremania yang memiliki domain sangat besar dan terbilang solid, tentu menggiurkan bagi semua partai politik untuk mencari dukungan. Hanya saja, tanpa disadari para politikus, partai politik justru menghadapi resistensi besar di dunia olahraga.
Saya melihat sebagian besar Aremania justru ogah dikaitkan dengan urusan politik, baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Jadi, seandainya saja kedatangan Nirwan Bakrie memiliki agenda sampingan yakni membantu partai kuning, tampaknya tak akan banyak memengaruhi pilihan politis Aremania.*
(wbs/koransindo)