Tak berlebihan jika makin banyak orang nyeletuk begini: urusan PSSI sama rumit dengan urusan negara. Problem bukan menyusut, melainkan malah menumpuk.
Ketika di tingkat negara Presiden Susilo 'SBY' Bambang Yudhoyono tampak gagap memproses reshufle kabinetnya dengan hasil yang akhirnya juga dicibir, PSSI di bawah kendali Djohar Arifin Husin pun begitu di hampir setiap langkahnya.
Suka atau tidak, sealiran atau tidak dalam pandangan politik, di tingkat rakyat kebanyakan kini kian kuat anggapan kinerja pemerintahan SBY tak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Kehidupan di negeri ini kini tak jadi lebih jelas dari sebelumnya. Sekalipun dibandingkan jauh ke era Orba yang penuh kontroversi.
Di lingkup yang jauh lebih kecil, yakni dalam urusan sepakbola, tercermin pula keadaan yang tidak membaik itu. PSSI yang katanya harus direvolusi dan itu sudah terpenuhi lewat KLB 9 Juli 2011 di Solo, bukan saja tak lebih baik dari PSSI sebelumnya, tapi malah kian runyam dan tenggalam dalam banyak problem.
Tak ubahnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pimpinan SBY yang kian gemuk dan kian tidak taktis cara kerjanya, kelemahan mendasar seperti itu pula yang ditunjukkan Djohar dan pasukan reformasinya di PSSI kini.
Cara yang ditempuh PSSI setiap hendak menyelesaikan masalah kerap justru menimbulkan masalah baru. Dari sebegitu banyak masalah yang coba diurus sepanjang empat bulan kepemimpinan Djohar, belum ada yang bisa diberesi. Masalah justru melebar, kisruh, dan berbuntut. Ironis.
Lihat saja bagaimana PSSI menihilkan arti sebuah kontrak kerja dalam kasus Alfred Riedl dan antv. Riedl disingkirkan begitu saja saat sedang bekerja mengasah timnas Pra Piala Dunia 2014. Nasib serupa menimpa antv sebagai pemegang kontrak 10 tahun hak siar kompetisi tertinggi nasional.
Riedl digantikan Wim Rijsbergen yang sama sekali tak terbukti lebih becus. Timnas Indonesia tiga kalah dan (hampir) pasti gagal ke putaran 4. Sedangkan fungsi antv dialihkan ke MNC Grup dengan tiga stasiun teve nasionalnya. Mutu siaran memang oke, tapi di balik itu ada pihak yang tertindas.
Kinerja PSSI dengan segenap perangkat kerjanya yang tidak clear juga menambah puyeng sejumlah pengelola klub.
Alih-alih memverifikasi kontestan jelang kompetisi musim 2011/2012, ujungnya malah konflik yang kian meruncing di internal Arema Indonesia, Persebaya Surabaya, dan yang terparah menimpa Persija Jakarta.
Itu karena PSSI dan perangkat kerjanya, termasuk Komite Eksekutif (Exco) yang belakangan terbelah-belah, menunjuk pihak yang dinilai sah sebagai pengelola klub condong berdasarkan selera, kedekatan atau kepentingan tertentu.
Tak kalah konyol adalah keputusan mengangkat Saleh Ismail Mukadar sebagai Deputi Sekjen Bidang Kompetisi PSSI. Konyol, karena saat diangkat Saleh masih dalam status diskors.
Saleh terkena sanksi tiga tahun tak boleh aktif mengurusi sepakbola dari Komisi Disiplin PSSI yang berlaku per 24 September 2010. Artinya, sanksi atas diri Saleh mestinya baru berakhir 24 September 2013. Selain itu, status Saleh juga bermasalah di Pengprov PSSI Jatim. PSSI seolah tutup mata terhadap semua itu.
Cukup? Belum. Di saat vital dan krusial jelang bergulirnya kompetisi yang awalya hendak dimulai per 8 Oktober 2011, PSSI di tangan Djohar dkk malah kian gegabah. Kian kentara tak bisa bekerja lebih baik dari kabinet sebelumnya.
PSSI kabinet reformasi kian masa bodoh dengan aturan main dan kesepakatan yang dicapai dalam kongres yang punya kekuatan hukum dari sisi etika. Dan, kian mempertegas kdberadaannya di balik maksud-maksud tertentu yang selama ini digunjingkan.
Semua itu dengan mudah ditangkap siapapun yang masih kritis dan berniat murni menyehatkan sepakbola nasional. Sebab, PSSI dengan gagah dan penuh percaya diri memplot kontestan kompetisi utama dari 18 jadi 24. Yang enam adalah 'titipan' dari Liga Primer Indonesia (LPI).
Parahnya, dua di antara enam klub yang dipaksakan masuk itu juga mengusung status terhukum akibat membelot ke LPI ketika PSSI masih dipimpin Nurdin Halid. Sanksi terhadap PSM Makassar dan Persibo Bojonegoro dijatuhkan dalam Kongkres Bali. Jika ingin dianulir, sesuai statuta, mestinya ya lewat kongres pula.
Kompetisi yang semula dinamai Liga Prima Indonesia, lalu direvisi jadi Indonesia Premier League (IPL) dan akan berjalan di bawah kendali PT Liga Prima (LPI) Sportindo itu akhirnya tak jelas hingga kini.
Managers meeting, Kamis (13/10) di Hotel Ambhara, Jakarta, deadlock. Ke-24 klub terpecah dua: 14 membelot dan tak sudi berkompetisi di bawah naungan PT LPI, 10 sisanya manut-manut saja karena sebagian memang eks LPI yang ilegal itu.
Yang sempat digulirkan baru laga Persib Bandung kontra Semen Padang di Stadion Si Jalak Harupat, Sabtu (15/10). Entah, skor 1-1 saat itu mau diapakan PSSI (dianggap ekshibisi atau masuk pdnilaian klasemen IPL), yang jelas kompetisi resminya masih tanda tanya.
Dari jadwal semula 8 Oktober, geser ke 9 Oktober, lalu ke 15 Oktober dan seterusnya, belakangan malah disebut IPL baru dilanjut setelah SEA Games XXVI yang berakhir 21 November 2011.
Bagaimana pun nantinya IPL itu dijalankan, dari kerumitan soal kompetisi ini saja PSSI lagi-lagi memang terkesan belum puas melampiaskan misi babat alas terhadap apapun sisa kerja PSSI era sebelumnya.
Itu, tak pelak, malah membuat PSSI kabinet reformasi tertatih-tatih, penuh blunder, dan akhirnya terjebak dalam kebingungan.
Itu terlihat dari banyak hal. Ya, hal yang tadinya jalan dan sederhana, di tangan kepengurusan yang sekarang malah buntu dan jadi ribet. Deadlock soal kompetisi adalah fakta paling mencolok.
Bayangkan jika IPL jalan dengan pemaksaan diikuti 24 klub, jadwal panjangnya pasti bakal menabrak kalender internasional. Setiap klub juga mumet memikirkan risiko dari jadwal superketat dan bertumpukan.
Jadi, selepas melewati 100 hari kerja kabinet Djohar dkk, PSSI memang seperti mencerminkan KIB. Serba tumpul dan rumit di tengah masalah yang kian menumpuk. Sama sekali belum ada buah karya yang lebih baik dibandingkan seburuk-buruknya kabinet sebelumnya.
Sampai di sini, maaf, PSSI kabinet reformasi tak ubahnya KIB: melulu berlumur kegagalan. Sepakbola negeri ini bakal kian terbenam jika mereka yang kini mengendalikan gerak PSSI tak sudi membuka diri untuk segera sadar dan berbenah.
(bramono-sportiplus)